Jumat, 20 Juli 2012

Cerita Pertama

Sungguh merasakan dingin yang luar biasa tatkala hujan deras mengguyur perjalananku. Aku pun menggigil, basah kuyup. Intan sudah pergi. Aku sudah berusaha mengejar bis yang ia tumpangi. Namun hujan yang deras ini menenggelamkan suaraku yang berteriak memanggilnya. Kini sahabatku sudah pergi meninggalkanku ke kota untuk melanjutkan SMA di sana. Kami sudah berteman sejak aku diajak bapakku pindah ke desa ini. Ketika ibu meninggal ketika umurku 4 tahun, bapak mengajakku ikut program pemerintah, yakni transmigrasi. Dan sejak perkenalan pertamaku dengan Intan maka sudah kuputuskan bahwa ia adalah teman sekaligus sahabat bagiku. Betapa tidak, ketika pertama aku pindah, aku sudah diejek anak-anak desa ini karena adanya kelainan pada diriku. Ya, aku bisu teman. Semua anak-anak di sini mencemoohku dan Intan yang memang agak tomboy membelaku. Ia merampas mainan yang diambil oleh Yoga, salah satu dari anak laki-laki yang sering mengejek keterbatasanku ini. Itulah saat pertama kali kami bertemu, dan aku pun langsung bersembunyi di belakang punggungny. "Kalau ada yang berani mengganggu dia lagi, maka kalian harus berhadapan denganku!!!!" Gertak Intan. @@@ Setelah bis itu menjauh dari pandanganku, aku pun mencari tempat berteduh. Kuambil gelang persahabatan dari saku celanaku. Ini buatan Intan ketika pelajaran seni kelas 6 SD. Aku menarik nafas dalam-dalam. Teringat ketika ia menceritakan seluruh kejadian di kelasnya setiap hari. Teman, aku hanya lulusan SD dan tidak melanjutkan ke SMP karena menurut kepala sekolah, aku seharusnya berada di sekolah luas biasa khusus penyandang tuna rungu. Bapakku yang miskin tidak bisa menyekolahkanku ke kota. Dan Intanlah yang setiap hari membacakan pelajaran yang ia dapatkan di SMP. Aku ingat ketika kami sedang di sawah, awan berubah menjadi mendung dan Intan mengajakku untuk segera pulang. Lalu taklama kemudian hujan pun mengguyuri badan kami berdua, dan Intan tetap bersikeras untuk pulang walau sudah kuberitahu untuk berteduh sejenak. Ia menampik ajakanku. Dan ditengah perjalanan pulang, kulihat Intan batu-batuk dan terlihatlah sebuah noda merah keluar dari mulutnya. Cepat-cepat ia mngehapusnya karena tidak ingin terlihat olehku. Aku yang tidak tahu apap-apa berpura-pura tidak melihatnya dan kukira ia hanya kedinginan saja. Setelah sampai di depan rumahnya, ia langsung masuk dan tidak berkata apa-apa kepadaku. Dan akupun langsung saja pulang menuju rumahku. @@@ "Besok aku ke kota, Ta." Kata Intan sambil membereskan buku pelajarannya. Keningku pun mengekerut. "Kamu jangan heran gitu dong, aku akan balik lagi kok. Besok aku mau daftar sekolah di kota," ujar Intan. Aku pun melayangkan pandanganku ke hamparan sawah. Pematang sawah memang tempat favorit kami untuk belajar. Aku merasakan sesuatu berharga yang akan segera hilang. Kemana akan kudapatkan sosok seirang sahabat sebaik Intan. "Hei, jangan melamum, Ta. Ntar aku sering kirim surat ke kamu." Aku tidak menghiraukan perkataannya waktu itu. Aku tidak meberikan reaksi apa-apa. Intan pun melanjutkan perkataannya, "Besok mungkin aku pulang agak sore soalnya ada yang harus kuselesaikan juga."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar