Selasa, 13 Maret 2012

Ga tau mau dikasih judul apa :)

“Aduuhh.. maaf saya buru-buru…” Ujar Pak Alam ketika ia menabrak salah satu pegawainya. “Oh, Pak Alam.. Ya gak apa-apa, Pak.. Silakan..” Bergegas Pak Alam menuju ke luar kantornya. Wah, deras pula hujannya, gerutunya dalam hati. Mobil yang akan ia pakai berada agak di dekat pagar kantor dan itu berarti ia harus berjalan melewati rintik hujan yang semakin deras. Dilihatnya seorang ojek payung. “Ojek.. Ojek payung…” Panggilnya kepada seorang ojek payung cilik. Agak kesulitan rupanya ia menemukan ojek payung yang sedang kosong. Maklum, pada saat itu bukan hanya ia yang memerlukan jasa ojek payung. Setelah si ojek payung itu menghampirinya dan membawanya bergegas ke tempat mobil yang ia parker, Pak Alam pun memberikan uang selembar lima ribuan. “Terima kasih, Pak..” Mobil Pak Alam pun melaju kencang di bawah derasnya hujan menuju ke sebuah klinik bersalin yang berjarak 30 menit dari kantornya. Istrinya akan melahirkan anaknya yang kedua. Seorang putri yang telah 7 tahun ini ia harapkan akan lahir. Anak pertamanya seorang laki-laki yang kini duduk di kelas 3 SD. Sekilas ia teringat dengan si ojek payung tadi. Jika ia tidak bekerja keras di 9 tahun lalu, mungkin anaknya juga akan merasakan nasib yang sama dengan anak ojek payung tadi, pikirnya. Perlahan Pak Alam memacu kecepatan kendaraan dengan tinggi. Ia kembali menerima telepon dari mertunya jika istrinya sedang mengerang kesakitan sambil memanggil namanya. Di tengah perjalanan, ketika melewati tikungan tiba-tiba saja ia dikejutkan dengan seorang wanita yang sedang berlari menyebrang untuk mendapatkan tempat berteduh di sebuah halte tak terpakai. Tanpa bisa mengelak, Pak Alam pun menabrak wanita muda itu dan spontan saja orang-orang yang melihat kejadian tersebut berusaha menyelamatkan wanita itu. Pak Alam yang sedang dilanda kepanikan akan istrinya dan kini ditambah lagi dengan kepanikan atas insiden tabrakan langsung saja ia tancap gas meninggalkan lokasi kecelakaan tadi. Orang-orang yang sibuk mengurusi korban, tidak lagi sempat melihat nomor kendaraan mobil Pak Alam sehingga tidak bisa meminta pertanggungjawabannya. Wanita korban tabrak lari itu dilarikan ke puskesmas terdekat. __@@__ Ali berulang kali melihat ke luar jendela, dimana Kak Nurul?, tanyanya dalam hati. Sudah pukul 6 kurang 20 menit namun Nurul belum juga pulang. Biasanya ia sudah pulang pukul 5 sore. Atau karena hujan ya? Ah, entahlah…,gumam Ali. Ali pun segera mengerjakan pekerjaan rumah yang biasanya dilakukan oleh kakaknya. Sekilas ia melihat foto dirinya, Nurul, dan ibunya yang diambil sebelum ibunya pergi menjadi TKI di Yaman. Kini sudah 5 tahun ia dan kakaknya berpisah dengan ibunya. Alhamdulillah pemberitaan yang sering ia baca di koran mengenai TKI yang disiksa majikan tidak sampai menimpa ibunya. Sang ibu malahan sering menelpon mereka yang mereka terima melalui handphone tetangga. Betapa senangnya ia ketika mengetahui ibunya akan pulang 8 bulan lagi da tidak akan menjadi TKI lagi di sana. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Nurul belum pulang. Ali pun mulai cemas. Ia kemudian pergi ke rumah Bayu meminta bantuan untuk mencari kakaknya. Ketika ia melewati rumah Pak Toyo, ia pun dipanggil si pemilik rumah. “Ali… Bagaimana dengan luka kakakmu?” Tanya Pak Toyo. “Luka? Maaf, Pak. Siapa yang luka? Kakakku, Kak Nurul maksudnya?” Ujar Ali. “Lho, bukannya tadi kakakmu menjadi korban tabrak lari dan sekarang di Puskesmas Sejahtera?” “Apa? Kak Nurul jadi korban tabrak lari?” Tanpa menunggu penjelasan panjang dari Pak Toyo, Ali pun segera bergegas ke rumah Bayu dan meminta ditemani ke Puskesmas Sejahtera. Sepanjang perjalanan dengan menggunakan sepeda yang dikayuh oleh Bayu, Ali pun menangis. Tak terbayang olehnya jika sang kakak akan menderita luka yang parah. “Sudahlah Ali… Lebih baik kamu berdoa saja, itu akan membuatmu optimis.” Ujar Bayu. Bayu yang 3 tahun lebih tua dari Ali memang sudah mengalami “pendidikan” hidup sejak ia masih berumur 5 tahun. Seorang anak transmigran yang serba kekurangan yang akhirnya kembali mengadu nasib ke kota bersama ayahnya. Sesampainya di puskesmas, Ali mendapati kakaknya sedang tidur istirahat. Ali pun menangis seakan-akan ia telah kehilangan kakaknya. Nurul yang mendengar suara tangis Ali perlahan terbangun dan membuka matanya. Nurul mengusap-usap kepala Ali, adik satu-satunya yang ia miliki. Ia pun ikut meneteskan air mata. Ia rindu kepada ibunya. Di saat-saat pilu seperti ini, mereka menginginkan sosok seorang ibu yang akan menghapus kepedihan akan luka yang mereka hadapi. Nurul merasa belum memberikan sesuatu yang terbaik untuk Ali berjanji tidak akan meninggalkan Ali. Ketika ia tertabrak, ia sedang mengurus berkas-berkas untuk mengikuti kursus menjahit yang diadakan gratis untuk anak putus sekolah. Ia ingin mencari uang dengan cara baik yakni menjahit. Menjadi penjual air minum mineral di lampu merah perempatan jalan maupun di terminal amatlah rawan baginya. Sedangkan Ali masih bersekolah di kelas 3 SD sepulang sekolah harus menjual koran dan jika hujan tiba, ia menjadi ojek payung karena koran yang ia jajakan tidak akan laku tatkala hujan turun. “Kak…” “Apa sayang?” Dengan terbata-bata Ali menggenggam tangan kakaknya dan mengusapkannya ke pipinya, “Kakak jangan tinggalin Ali sendiri ya.. Kakak gak usah kerja dulu, biar Ali saja cari uang. Tabungan Ali juga masih ada kok.. Nanti Ali gak usah sekolah biar pagi-pagi bisa cari uang, jadi nanti dapet uangnya lebih banyak lagi…” Nurul tersenyum dengan kepolosan adiknya. “Ali harus tetep sekolah. Ali mau jadi orang bodoh?” Ali pun menggeleng. “Nah, jadi harus sekolah terus ya.. Biar rejeki kita Allah yang atur..” Rinai hujan di malam itu kian menambah pilunya hati dua kakak beradik itu. Bayu pun pamit ketika ayahnya menjemput pulang. Ali malam itu menginap di puskesmas untuk menjaga Nurul. __@@__ “Wah, cucuku sekarang lengkap ya.. Laki-laki dan kini perempuan…” Ujar ibu Ayik, mertua Pak Alam. Pak Alam pun tersenyum. Putri kecilnya lahir dengan selamat dan ia pun masih sempat menemani istrinya berjuang antara hidup dan mati. Hari sudah pukul 9 malam. Dilihatnya putrinya yang ia beri nama Putri Humairah sedang tertidur pulas di samping ibunya. Dan sang jagoan ciliknya, Abian Satria pun sudah tertidur di kursi setelah sibuk ikut menangis ketika melihat neneknya panik menanti kelahiran adiknya. Ia kira ibunya akan meninggalkannya. Melihat pulasnya tidur Abian, Pak Alam sontak teringat dengan kejadian sore tadi. Ia pelaku tabrak lari. Bagaimana dengan wanita tadi.? Apakah ia meninggal, terluka parah, atau… Ah, untuk apa kupikirkan.. Toh, nanti akan jadi boomerang bagiku sendiri jikalau nati ia menuntut saya ke polisi.. Bisa kacau kebahagiaan keluarga saya.. Pak Alam pun tidak menghiraukan kejadian yang ia alami sore tadi. Ia sudah cukup bahagia dengan kelahiran anaknya. __@@__ “Abian….” Abian pun menoleh dan mencari sumber suara yang memanggil namanya. Dengan terengah-engah Ali menghampiri Abian. “Hei Abian, kamu punya adik baru ya?” Tanya Ali. “Iya.. Cantik lho.. Kami nantinya akan menjadi kakak beradik yang solid pasti… “ Jawab Abian sambil tertawa yang kemudian disambut dengan cibiran Ali. “Huuhh… pasangan kakak adik yang solid itu saya dan Kak Nurul..” “Eh kakakmu dua hari yang lalu jadi korban tabrak lari ya? Gimana dengan penabraknya? Ditangkep gak?” “Haduh… Kamu sih dua hari gak masuk kelas jadinya kuper.. Pelakunya gak bisa ditangkep gara-gara gak kelihatan nomor polisinya. Hujannya deras banget..” “Hmm.. Semoga cepetan sembuh ya kakakmu. Oh iya, besok kamu ke rumahku ya.. Lihat adik baruku.. nanti aku gantian ke rumahmu menjenguk kakakmu. Sekalian aku antar kamu pulang sama ayah nanti pake mobil..” “Okelah.. Abian Satria si anak manja…Hahahaha…” Ledek Ali sambil berlari menuju kelas tatkala bel tanda masuk kelas sudah berbunyi. Abian pun mengejar Ali yang masih terbahak-bahak tertawa karena sukses mengerjai sahabat yang baru dikenalnya sejak 6 bulan yang lalu. __@@__ Esoknya, sesuai perjanjian kemarin bahwa Ali akan mengunjungi rumah Abian untuk melihat adik baru Abian. Ali yang masih terasa asing dengan suasana rumah Abian berusaha untuk beradaptasi. Ia pun menyalami satu persatu penghuni rumah itu. “Yah, ini nih temen baru Abian yang rumahnya dekat dengan kantor Ayah.” Ujar Abian memperkenalkan Ali dengan Ayahnya. “Oh ini Ali, si anak seribu langkah yang sering kamu ceritakan?” Ujar Pak Alam sambil tersenyum. “Anak seribu langkah?” Tanya Ali bingung. “Iya Ali, kamu itu adalah anak seribu langkah karena setiap masalah yang kamu alami pasti kamu akan hadapi walau itu sulit bagimu dan kakakmu. Ya, seperti yang sering kamu ceritakan selama ini… Dan ayahku pun tertarik dengan kepribadianmu. Seperti cerita novel yang menjadi nyata katanya..” “Aduh.. Pintarnya anak Ayah sekarang, sudah pandai berbicara.” Ujar Pak Alam sambil mengusap kepala Abian. Abian pun terkekeh-kekeh mendapat pujian dari ayahnya. Ali hanya terpaku melihat kasih sayang yang Abian dapatkan dari ayahnya. Diam-diam ia iri. Ia tidak tahu siapa sosok ayahnya. Ibu tidak pernah menceritakan siapa dan dimana keberadaan ayahnya yang sudah pergi sejak ia berada 3 bulan dalam kandungan meninggalkan ibu dan kakaknya. “Nah nak Ali, nanti kita ke rumahmu ya. Om mau jenguk kakakmu. Kalau boleh tahu siapa ya namanya?” “Nurul, Om. Nurul Ariani AP” Tiba-tiba Pak Alam berkeringat dingin. Ia menjadi gugup, pucat, dan seperti ingin pingsan. “Lho, kenapa, Om? Om sakit ya?” “Ah tidak apa-apa. Hanya mendadak kepala Om agak pusing.” Abian yang sudah datang membawa kunci mobil menghentikan percakapan mereka. Pikiran Pak Alam pun seperti mengawang ke kejadian 9 tahun silam. Sebuah dosa besar yang ia lakukan. Dengan hati-hati ia memacu mobilnya menuju ke rumah Ali. __@@__ Sesampainya di rumah Ali yang sangat sederhana, Pak Alam memperhatikan dengan seksama setiap sudut rumah Ali. Ia mencari sebuah benda yang akan menguatkan argumentasi dirinya yang telah ia utarakan dalam hati selama perjalanan menuju rumah Ali. “ Assalamu’alaikum. Kak Vina, ini ada Abian dan ayahnya datang menjenguk Kakak..” Kata Ali ketika mereka telah sampai di rumah. “Wa’alaikumsalam. Iya Ali ajak mereka masuk ya.” “Ayo Om dan Ali mari masuk. Maaf tempatnya mungkin agak tidak nyaman.” Ajak Ali kepada Pak Alam dan Abian. “Dimana kakakmu Ali?” Tiba-tiba saja Vina keluar dari kamar dan menghampiri mereka. “Lho, kakak kok keluar kamar?” Wajah Vina yang pucat dan gugup memberanikan diri untuk keluar kamar tatkala mendengar suara Pak Alam. Dengan bantuan sebuah kayu yang menopang badannya, ia keluar menuju sumber suara yang sedang berbicara. Ketika ia melihat Pak Alam, ia tidak dapat menahan air matanya. “A..a..yah..” Ali dan Abian pun kaget. Terlebih lagi Ali, ia sangat heran kenapa kakaknya memanggil Pak Alam dengan panggilan ayah. “Kak Vina, ini Pak Alam. Ayahnya Abian..” Tanpa menghiraukan penjelasan Ali, Vina menyuruh Ali mengambil sebuah map yang ada di dalam lemari Vina. “Ali, lekas kau ambil map merah di dalam lemari kakak, cari di bagian paling atas.” Ali pun bergegas ke kamar Vina dan keluar dengan membawa sebuah map merah. “Ali.. Kau ingin tahu kan siapa ayahmu. Bukalah map itu.” Ali dan Abian segera melihat isi map merah, dan di sana terdapat akte kelahiran Ali dan Vina. Ali yang sudah pandai membaca melihat nama ayahnya ialah Alam Prabowo. “Alam Prabowo? Bukankah itu nama ayah?” Gumam Abian. “Coba lihat foto-foto yang ada di dalam map tersebut.” Suruh Vina kepada Ali. Ali pun melihat foto-foto yang di dalamnya terdapat Ibunya, Kak Vina, dan… “Om Alam? Ini foto Om Alam? Ibu juga ada sama kak Vina. Jadi Om Alam ini…” “Om Alam inilah ayah kita, Ali. Dia sudah meninggalkan kita sejak kau dan kakak kembaranmu di kandungan ibu. Dia yakin akan mendapatkan pekerjaan layak di kota dan mengeluarkan kita dari kemiskinan. Tapi nyatanya dia tidak pernah pulang. Oh salah… Dia pulang ketika ibu melahirkanmu dan kakak kembaranmu. Ia mengambil kakak kembaranmu karena istri mudanya belum bisa memberikan anak kepadanya. Apalagi wajah kalian tidak seperti layaknya anak kembar pada umumnya. Wajah kalian berbeda walaupun kembar. Dan kakak yakin, Abian inilah kakak kembaranmu…” Papar Vina. Pak Alam pun hanya bisa tertunduk. Sementara Ali dan Abian saling berpandangan. Ali merasa senang karena kini ia telah mengetahui siapa ayahnya. Dan Ali pun merasa kebahagiaannya bertambah dua kali lipat karena ia mempunyai saudara kembar, yakni Abian. Begitu pula Abian yang merasa sejak pertama bertemu sudah memiliki ikatan batin dengan Ali. Seperti sudah sangat lama mengenal Ali. “Maafkan Ayah, Nak? Ujar Pak Alam. “Ayah sudah menelantarkan kalian…” “Kami sangat kecewa dengan Ayah. Setiap malam Vina mendengar suara isak tangis ibu yang mendoakan keselamatan Ayah dan semoga Ayah sadar dan kembali kepada kami.. Ibu berjuang sendiri menopang kehidupan kami. Penderitaan Ibu ketika mengandung Ali dan Abian, tapi dengan seenaknya saja Ayah datang mengambil Abian dan membawanya ke kota. Setelah Ali bermumur 2 tahun, kami pindah ke kota untuk mencari Ayah. Tapi sayangnya kota ini terlalu luas untuk mencari seorang ayang yang telah menelantarkan anak istrinya.” Pak Alam pun bersimpuh di hadapan Vina sambil menangis. “Maafkan Ayah, Vina. Ayah sangat menyesal… Selama bertahun-tahun Ayah dihantui rasa berdosa kepada kalian..” Lantas kenapa Ayah tidak mencari kami?” Potong Vina. “Sudah 6 tahun kami di sini, tapi sama sekali tidak terdengar kabar Ayah ,mencari kami.. Jadi, untuk apa Ayah menyesali dosa jika ternyata ayah tidak mau menebusnya dengan mencari kami dan memberikan nafkah kepada kami. Sudahlah, kami tidak perlu omong kosong lagi. Sebaiknya Ayah pergi saja ke rumah Ayah. Toh, putri baru Ayah pasti sedang menunggu kasih sayang Ayah di rumahnya..” Ali dan Abian hanya terdiam. Mereka mengerti dengan kemarahan Vina. Sudah bertahun-tahun Ali dan keluarganya terlunta-lunta mencari nafkah untuk menyambung hidup. Sedangkan orang yang bertanggung jawab menafkahi mereka malah pergi dengan orang lain. “Sekarang silakan Ayah pergi. Kami tidak ingin melihat air mata palsu Ayah..” Ujar Vina sambil membukakan pintu luar dengan lebar. “Tapi Kak, Om Alam ini ayah kita. Ali senang sudah tahu siapa ayah Ali dan ternyata Abian ini kakaknya Ali juga. Jadi sudah lengkap keluarga kita, ada ayah, ibu, kak Vina, dan kak Abian.” Vina terdiam kemudian mendekati Ali yang sudah terisak-isak menangis. Vina membelai Ali dan juga memberikan isyarat kepada Abian untuk mendekati mereka. Vina pun memeluk kedua adiknya. Abian pun ikut larut dalam kesedihan kakaknya. Abian pun berkata kepada Vina, “Kak Vina, kakak jangan marah ya kepada Ayah. Ayah sayang dengan kalian. Walau Abian masih kecil, tapi Abian tahu jika Abian itu punya saudara kembar. Abian pernah denger pembicaran Ayah dan Ibu. Ayah sudah mencari kalian, Kak. Percayalah dengan Abian. Abian tidak bohong.” Vina pun menatap Pak Alam yang sudah sembab matanya. Perlahan ia mendekati Pak Alam dan memeluk ayahnya. “Maafkan Vina, Yah.” “Anakku Vina, Ayah sangat minta maaf kepada ibumu, Ali, dan juga Vina. Ayah berjanji tidak akan menelantarkan kalian lagi. Sekarang kalian ke rumah Ayah ya?” Vina pun mengangguk. Mereka pun pergi menuju rumah Pak Alam. __@@__ Sambutan hangat dari istri Pak Alam dan juga ibu mertuanya kepada Ali dan Vina pun semakin menguatkan Vina bahwa ayahnya memang sudah berubah. Istrinya sangat baik dan ia menceritakan segala hal yang telah ia dan suaminya lakukan. Ia mengungkapkan maafnya karena telah merebut Pak Alam dari ibunya karena ia pun tidak tahu jika keadaan hidup Pak alam sangat rumit. Ia hanya tahu Pak Alam itu duda beranak satu dan istrinya meninggal ketika melahirkan. Oleh karena itu Pak Alam mengambil Abian sebagai bukti sebelum ia menikahi istri mudanya ini. Sementara Ali dan Abian semakin akrab dan mereka sepertinya menyukai Putri. Vina merasa senang dengan keadaan hidupnya sekarang. Kini, kaki Vina sudah bisa berjalan normal walau masih dibantu dengan tongkat. Pak Alam sudah menceritakan siapa yang sudah membuat kaki Vina cedera. Ia sudah membawa Vina ke dokter untuk perawatan kaki Vina. Namun, sampai detik ini ia tidak mau ambil pusing dengan urusan siapa yang menabraknya. Toh, dengan kejadian ini ia bisa menemukan ayah dan adiknya. Sekarang ia sedang menunggu kedatangan ibunya dari Yaman. Ibunya sudah mengetahui berita gembira ini dan kepulangannya dipercepat 1 bulan. Dan kini tinggal 2 bulan lagi ibunya akan pulang ke rumah. Akhirnya mereka bisa berkumpul dengan keluarga yang utuh. 130312/22.52
»»  READMORE...

Elegiku Sendiri...

ELEGI Sebenarnya saya ingin membuat puisi. Tapi karena keterbatasan kata-kata konotasi saya dalam berpuisi maka saya tuangkan dalam bentuk narasi sajalah… Namanya saja penulis, jadi ya saya suka bercerita lewat karangan saja… Elegi… suatu kata yang pertama kali saya kenal ketika menonton film Dealova. Walau jalan ceritanya memang biasa saja, tapi mungkin karena soundtrack song yang disajikan sangatlah menarik perhatian masyarakat. Elegi… Ingin kutuangkan hasrat “denyut” kata hatiku dalam suatu narasi yang pendek ini berupa elegi… Suatu perasaan yang memendam lama keinginan untuk menemukan suatu elemen kutub positif agar dapat menghasilkan energy di dalam hidupku, dan menjadi suatu pasangan dalam kedamaian hidup menjalani apa-apa yang diwajibkan Allah SWT dan Rasulullah. Elegi dan kehampaan yang kualami ketika sesuatu masalah yang hanya akan kuceritakan kepada Allah, bahkan orang tua saya pun sering tidak memberikan solusi tatkala saya menceritakan masalahku sehingga betapa malasnya untuk sharing kepada mereka. Saya butuh sebuah partner hidup dan saya menginginkan kata elegi itu menjauh dari pikiran saya. Jika mengingat elegi, saya teringat kepada gunung. Saya ingin sekali mendaki gunung dan berada di puncaknya dan berteriak dengan segala kegalauanku dimana akan kuungkapkan segala mimpi dan cita-cita di sana. Akan kuteriakkan sekencang-kencangnya kepada orang-orang yang berada di kaki gunung agar mereka mendengarkan juga kegalauanku akan mimpi-mimpi yang belum sepenuhnya dijawab oleh Allah… Namun terlalu picisan jika mengumbar secara detail perasaan karena sebenarnya saya merasa takut untuk mengungkapkannya di sini, di dunia maya. Namun sungguh tak bisa kupungkiri elegi yang semakin lama semakin memenuhi isi kepala dan hati... Pernahkah terpikir olehmu ketika sebuah bayangan yang hadir tatkala terang dan pergi tatkala hari sudah mulai gelap. Ia hanya hadir ketika masa senang dan seketika pergi seperti angin lalu yang seakan-akan kau tidaklah penting baginya. Ini bukan karena rasa pamrih atau apapun tentang keikhlasan… hanya saja perasaan kehilangan memang ada ketika si bayangan telah hilang dan tenggelam bersama kegelapan. Namun saya tidak akan pernah meratapi bayangan itu dan kini mencoba bangkit dari bumi ke langit (pinjem judul lagu orang). Elegi.. Hilanglah bersama angin utara Bersama khayalan yang terjatuh dari mimpi Tinggalkanku meratapi bayangan maya Menjauhkanmu dari tatapan hati Elegi… Tidakkah kau tahu akan fatamorgana hati Mengendap-endap masuk Berusaha mencari celah Kemudian merayap meninggalkan mimpi Menggalauku kini Meski terasa sulit melepaskan makna elegi yang begitu lancangnya datang menghampiri hati kemudian merasuki pikiran dan menjadi racun di nadi… Sesuram itukan elegi…? Jawaban selalu kunantikan dari Yang Di Atas... Akankah elegi, kerinduan, dan kesepian, lonelyness akan berakhir.. Hhhmm… Pastinya banyak yang ngira kalo saya ingin cepat-cepat m*n*k*h kan..?? Hhee.. Bukan..!!!! Saya sebenarnya ingin mengarungi hidup terlebih dahulu… Mencoba nyali dan mentalku dalam “mengubek-ubek” dunia. Menemukan partner hidupku di antara mereka yang juga antusias dengan mimpi-mimpiku untuk mengajar di pelosok negeri di Indonesia… Sungguh menyukai anak-anak penurut yang masih bermimpi melanjutkan pendidikan dan keluar dari kemiskinan dan kebodohan… Saya hanya ingin mendapatkan partner saya yang mempunyai visi yang sama dengan saya.. Oleh karena itu saya akan stop kepada sebuah rasa picisan kepada orang-orang yang pengecut dan memulai mengarungi hidup di antara samudra dunia. Meski nantinya akan mendapatkan pertentangan dari banyak pihak terutama dari orang tua. Namun, kuyakini Allah akan meridhoi mimpiku ini.. Membangun tanah pelososk Indonesia untuk bangkit dan melawan kemiskinan dan kebodohan… Kepada elegi dan kedukaan yang belum berujung kemana kan berakhir menemukan tepiannya… Kan kutemukan di antara puing-puing kepingan mozaik kehidupanku yang seakan-akan kini seperti membiarkanku dalam kesendirian mengayunkan langkahku meraih mimpi… Elegi… Biarlah hidup dan selamanya kan selalu terpatri dalam hati… Saya seperti hendak menangkap angin, selalu terlepas tanpa pernah bisa kau genggam… Kini biarlah kuturuti alur hidupku berdasarkan rancangan khayalan hidupku sesuai dengan tuntunan ridho Allah… 130312
»»  READMORE...