Jumat, 18 Maret 2011

Di Batas Akhir Senja

Telah lama kududuk tertegun
Merenungi dan menghayati semua
Di penghujung senja yang merah menguning
Hatiku gelisah resah tak menentu

Yang kunanti jawaban pasti darimu kasih, yang satu
Mungkinkah, diantara kau dan aku kan terjalin satu

Cinta kita berdua seperti dalam lamunan
Di batas akhir senja
Tak akan kubiarkan bungaku layu
Berguguran

Sampai akhir hayatku akan kusimpan dan
Kutunggu selalu oh, mungkinkah
Diantara janjimu, janjiku kan tercipta
Bahagia yang nyata seperti dalam lamunan
Di batas akhir senja

By : Alm. Chrisye
»»  READMORE...

Kugapai Bintang Itu

Bintang…
Kau terlihat lagi di malam ini. Namun kau terlihat berbeda kali ini. Kenapa kau tampak muram ? Hei, coba bisikkan padaku.. Ayo lebih dekat, biar kuketahui ada apa. Kenapa tidak kau bisikkan padaku ? Apakah terlalu rahasia ? Apakah kau lupa bahwa kita selalu bercakap-cakap di tiap malam. Oh, pantas saja semalam kau tak datang. Apakah kau menyendiri, menghindari aku ? Ayo ceritakan.. Apa harus aku yang menemuimu ? Oh, itu berarti aku harus ke langit. Sangat sulit itu kawan bagiku. Kau sajalah yang mendekat, ceritakan kegalauan hatimu.
Apa ? Kau malu ? Kenapa kau tiba-tiba menjadi pemalu ? Tak biasanya kawan. Hmm..Aku tau apa yang bisa membuatmu akan bercerita padaku, apakah kau mau kutraktir ? Bagaimana kalau kudendangkan sebuah lagu kesayanganmu dengan gitar usangku ? Aha, kau juga mau ikut bernyanyi rupanya. Baiklah, tapi kau harus berjanji nanti setelah kita bernyanyi maka kau harus menceritakannya padaku. Bagus kawan, kau akhirnya menggangguk setuju.
When you’ve tried your best but you don’t successes
When you’ve gave what you want but don’t what you need
When you lose something you cannot replace…

Ah, rasanya lega sudah melihat wajahmu cerah kembali kawan. Nah sekarang ayo coba kau ceritakan apa yang membuatmu muram ? Aku takut lho nanti penduduk di dunia ini marah kepadaku karena mereka pun kecewa melihat bintang yang selalu bersinar terang di malam hari tapi kok ternyata sekarang malah bermuram durja. Lho kenapa kau diam saja.

“Kapan kau akan pergi menemuiku ?” Tanyanya.
Kawan kenapa kau bertanya seperti itu. Pertanyaanmu mengejutkanku, kau terlalu tinggi kawan. Bagaimana aku bisa mencapai langit untuk bisa duduk bersamamu di sana. Aku tak punya sayap untuk terbang.
“Kapan kau akan pergi menemuiku ? Kapan kau akan pergi menggapaiku ?” Tanya ia sekali lagi dengan suara yang agak lantang.
Hei kawan, tenanglah sebentar. Kenapa kau begitu sensitive malam ini terhadapku.
“Ya, aku sekarang marah padamu. Aku marah kenapa kau masih tetap saja bermalas-malasan untuk menemuiku, selalu beralasan ini itu untuk bisa menggapaiku. Padahal banyak sekali orang-orang di sana yang sudah menggapai bintangnya dan mereka tak pernah mengeluh. Aku iri kepada bintang-bintang lain, kenapa hanya aku yang belum disentuh oleh kau ? Apa kau tidak tahu bahwa harga sebuah kesuksesan dalam menggapaiku amatlah besar ? Apa kau tidak pernah berpikir bahwa aku adalah cita-citamu yang telah engkau ikrarkan sejak kau duduk di bangku SMA dulu. Tapi kau kini hanya selalu duduk memandangiku setiap malam. Kita memang selalu bercakap-cakap, tapi aku baru sadar sekarang bahwa kau ternyata hanya mempermainkanku. Kau sama sekali tidak berkeinginan untuk menggapaiku ?”
Lihatlah kawan, kau telah membuatku menangis.
“Menangis ? Ya, kau menangis karena mungkin menyesal telah membiarkan aku tergantung di langit, sendirian”
Ya, kau benar kawan. Aku sungguh menyesal telah melupakan cita-citaku yang akan meraih bintang tertinggi di langit ini. Aku sibuk dengan kemalasanku, sedangkan engkau hanya kupandangi di tiap malam, hanya merenungi kapan aku bisa menggapaimu. Lalu, apa yang harus kulakukan kawan agar tidaka ada kata terlambat untukku menggapaimu, kawan ?
“Ubahlah pola hidupmu. Lihatlah, sekarang kau sudah duduk di bangku kuliah, semester 5 pula. Walaupun sudah 2 tahun kau sia-siakan waktumu, tapi dengan sebuah keyakian dan kerja keras, belajar, berusaha, dan juga berdoa kepada Allah SWT maka kau akan bisa menggapaiku. Aku sesalkan juga kenapa tak pernah kau tanyakan bagaimana cara menggapaiku. Tapi, ya, bagaimana mau menanyakan itu kepadaku jika kau sendiri tak pernah ada keinginan untuk meraihku.”
Aku semakin merasa bersalah padamu Bintangku, aku telah melupakanmu. Maafkanlah aku. Memang benar katamu, belum terlambat bagiku, walaupun aku sudah semester 5, tapi harapan itu masih ada. Harapan untukku menggapaimu dengan ikhtiar dan doa. Aku takkan mau lagi bintangku direbut orang. Aku kaan menggapaimu, aku akan berada di garis start awal dan akan finish di gardu depan. Itulah tekadku !!!!





Untuk teman-temanku di PGSD
“ KEEP ON SPIRIT TO REACH UR STAR”
Created by : 21
»»  READMORE...

Rangkaian Mutiara Hitam Sang Kartini

Merpati airlines telah meninggalkan landasannya, yang menandakan bahwa aku kini akan meninggalkan Jakarta menuju Papua. Tekadku sudah bulat ketika memutuskan untuk meninggalkan suamiku dan keluarganya. Aku hanya ingin membuktikan bahwa wanita yang terlahir bukan dengan kesempurnaan utuh bisa menjadi begitu berharga bagi orang lain. Kutinggalkan semua hiruk pikuk dunia kebebasan semu yang membuatku merasa semakin tampak lemah karena kekuranganku.
Mas, maafkan aku yang sudah membuatmu merasakan kekecewaan yang dalam karena pernikahan kita yang tidak membuahkan janin di rahimku. Aku sudah rela untuk kau cerai dan aku siap pergi dari hidupmu. Aku tahu kau sangat mencintaiku dan kaupun tahu bahwa aku pun sangat mencintaimu. Tapi apalah arti kebahagiaan cinta kita kalau tidak hadirnya buah hati yang menangis di dekapan, berlari mengejar kita seraya berucap “ayah, ibu”.
Maafkan aku Mas jika keluargamu membuat hatimu merasa terusik karena memang hanya seorang anak dari rahimkulah yang mereka inginkan untuk meneruskan perusahaanmu. Aku terlahir dengan kekurangan yang merupakan ketakutan setiap wanita di dunia ini. Aku harus akui bahwa aku mandul, Mas. Aku tidak bisa memberikan pangeran kecilmu.
Mas, kini aku rela untuk kau cerai. Nikahilah wanita pilihan ibumu. Aku sudah bertekad untuk keluar dari hidupmu dan akan mencari dunia baruku di tempat yang mungkin takkan kau ketahui. Dan aku akan membuktikan bahwa aku bisa berguna untuk orang lain, dan kekuranganku tak akan menghambat keinginanku untuk mengabdikan diri kepada mayarakat.
Karindah
Itulah isi surat yang kuberikan kepada Mas Henry sebelum akhirnya kami resmi bercerai. Setelah penandatangan surat cerai maka aku pun segera meninggalkan Jakarta menuju Papua. Papua? Ya, tempat paling timur di Indonesia itulah yang kupilih untuk mengasingkan diri dari segala cemoohan orang-orang yang menjatuhkanku. Jika mereka mengetahui isi hatiku, aku pun tak ingin mempunyai kekurangan ini. Sungguh tersiksa menjalani kehidupan ini. Berpisah dengan orang yang dicintai. Maafkan aku, Mas Henry. Tak terasa air mataku menetes kembali.
Setibanya di Bandara Torea, aku langsung meluncur menuju Desa Klapot Sorong Papua. Desa ini pernah kubaca di artikel sebuah koran nasional. Sangat tertinggal pendidikan di sana. Hal ini memberikan tantangan tersendiri kepadaku untuk memajukan masyarakatnya di bidang pendidikan. Dengan bermodal sebuah peta dan alamat desa tersebut, aku nekad menyusuri jalanan dan memasuki hutan yang terkadang membuatku takut.
Kini aku sudah berdiri di pintu perbatasan Desa Klapot Sorong Papua. Aku tertegun melihat kondisi desa yang masih primitif. Aku berjalan dengan pelan dan memeperhatikan satu persatu rumah di desa tersebut. Tiba-tiba aku berhenti di depan rumah yang terdapat seorang wanita, laki-laki, dan seorang anak kecil yang berada di pangkuan wanita tersebut. Keluarga yang bahagia sepertinya. Ingatanku melayang kembali ke masa pertama kali Mas Henry membawaku masuk ke rumah yang ia beli dengan jerih payahnya sendiri. Rumah yang sangat mewah menurutku. Kami hanya hidup berdua di dalamnya. Kami merasakan kebahagiaan yang hampir dirasakan oleh seluruh pengantin baru. Berhari-hari kami habiskan waktu dengan romantis dan tiada hari tanpa mengungkapkan rasa sayang kami satu sama lain.
Tapi kemudian petaka itu tiba. Di bulan ketiga pernikahan kami, tiba-tiba aku merasakan sakit perut yang tak tertahankan padahal aku sedang tidak haid. Lalu Mas Henry mengajakku untuk memeriksakannya ke dokter. Dan kenyataan pahit yang harus ditelan oleh kami berdua. Aku menderita kanker rahim dan divonis tidak akan bisa mempunyai anak.
Setiap hari aku menangis. Aku bukan menangisi nasibku tapi aku merasa bersalah kepada suamiku dan keluarganya. Aku tahu bahwa ibu Mas Henry amat menginginkan segera menimang cucu karena Mas Henry adalah anak tunggal dan jika mereka mengetahui bahwa Mas Henry tidak akan memiliki keturunan karena menikahiku maka aku akan segera disingkirkan dari keluarga mereka. Itulah yang menjadi ketakutanku setiap hari tatkala aku melihat foto pernikahan kami yang terpajang di ruang tamu.
___@@@___
Kuberanikan untuk menyapa mereka dengan menggunakan bahasa Indonesia karena aku tidak bisa berbahasa Papua. Mereka tampak kaget, mungkin karena perawakanku yang berbeda dengan mereka. Dengan ekspresi yang agak hati-hati mereka menjawab sapaanku. Lalu aku mencoba menimang putri kecilnya dan mereka terlihat sudah mulai untuk menerima kehadiranku. Kutanyakan di mana ketua adat ataupun kepala desa mereka tinggal. Lalu segera aku bergegas menuju ke rumah ketua adat dan mengutarakan maksud kedatanganku. Ia sangat antusias dan mempersilakan aku mau tinggal di mana saja. Aku memutuskan untuk membuat rumah sendiri. Dengan dibantu warga desa, rumahku pun sudah jadi. Kecil dan berlantai tanah, hanya bisa untuk tidur saja. Aku pun ganti baju dan segera berbaur dengan warga sekitar. Kemudian aku mencari air karena aku tahu sekarang sudah masuk waktu Ashar.
Malam pun tiba dan aku sempatkan untuk mngunjungi keluarga yang kutemui siang tadi. Mereka sangat ramah dan tampaknya ingin banyak menanyakan segala sesuatu yang belum mereka ketahui. Hal ini dapat kurasakan tatkala mereka sangat antusias dalam menyimak segala informasi yang kusampaikan. Mereka mulai bertanya tentang kehidupan di kota, tentang televisi yang pernah mereka lihat di puskesmas di desa seberang, dan tentang internet. Dari sinilah aku mulai merancang apa saja yang akan kuajarkan kepada warga Desa Klapot Sorong Papua. Mulai dari membaca, menulis, dan berhitung serta akan kusisipkan ajaran Islam karena Islam adalah agama umat manusia yang berasal dari Allah SWT.
___@@@___
Aku mulai mengumpulkan anak-anak warga Desa Klapot Sorong Papua untuk belajar. Aku membagikan alat tulis dan buku yang sudah kubawa dari Jakarta dengan stok yang lumayan banyak. Mereka kuajarkan pengenalan huruf dan siangnya kuajarkan pengenalan angka dan cara pelafalannya. Harus dimulai dari hal-hal yang sederhana agar mereka lebih paham dan selalu kusisipkan kata Allah di setiap pelajaran. Tapi aku tidak akan melanggar HAM dengan mengajarkan Islam kepada mereka karena mereka memang tidak mempunyai agama dan bahkan tidak tahu apa itu agama dan Tuhan.
Hari-hari kini berganti bulan dan aku sudah sampai pada tahapan pembentukan kepribadian anak muridku. Mereka sudah pandai berhitung perhitungan sederhana dan sudah bisa membaca lancar. Pada tahap pembentukan kepribadian, kuajarkan tata cara tingkah laku manusia agar dapat diperlakukan sebagai manusia. Kuajarkan cara berpakaian, makan, dan berbicara dengan baik dan benar. Ini sangat sulit karena mereka berada di lingkungan yang memang kurang mendukung. Seharusnya orang tua mereka pun diberikan pelajaran ini. Namun, ketua adat menolak dengan alasan mereka lebih tua dariku sehingga mereka tidak perlu diajari lagi. Sebagai warga pendatang maka aku pun mengikuti permintaan mereka.
___@@@___
Karin, kamu dimana sayang? Sudah satu tahun kamu pergi begitu saja sejak penandatanganan surat cerai kita. Keluh Henry dalam hati. Rasa cinta yang terlalu mendalam dirasakan oleh Henry kepada Hani. Besok Henry akan pergi meninggalkan Jakarta untuk keperluan tugas kantor. Henry kini telah menikah dan mempunyai seorang anak laki-laki dari seorang wanita bernama Cindy, jodoh yang dipilih oleh ibunya. Satu bulan setelah perceraian Henry dan Hani, ibunya segera melamar Cindy untuk Henry. Dan kini mereka mempunyai seorang anak laki-laki berumur 1 bulan.
Henry sangat menderita dengan kepergian Karin. Ia sangat frustasi setelah ibunya menyuruhnya untuk menikah kembali dengan wanita pilihan ibunya. Cindy. Henry sudah tahu tabiat Cindy, karena itulah ia lebih memilih untuk menikahi Karin. Cindy sangat matrealistis dan menikahi Henry hanya ingin menguasai hartanya saja, bukan atas dasar cinta dan kasih sayang.
___@@@___
“Bu, ini apa?” Tanya Obeth, salah seorang anak murid Karin sambil menunjukkan sebuah buku tebal bersampul warna keemasan.
“Itu namanya Al Quran, Obeth. Itu kitab suci umat Islam. Dulu pernah ibu guru ceritakan, kan? Obeth lupa ya?”
Obeth hanya tersenyum lebar dan mengangguk. Ia merasa malu karena tidak memperhatikan apa yang diajarkan gurunya.
“Anak-anak, besok kita akan kedatangan tamu. Teman ibu dan kalian harus sopan ya. Ingat dengan apa yang pernah ibu ajarkan dulu. Apa coba?”
“Harus pakai baju, celana, dan alas kaki. Bawa buku dan pena.” Jawab mereka serempak.
Keesokan harinya Karin dan seluruh anak muridnya menuju ke lapangan luas. Di sana mereka menunggu helikopter yang membawa tim wartawan untuk meliput kemajuan daerah pelosok Papua sambil membawa bantuan berupa makanan, selimut, obat-obatan, dan alat-alat tulis. Ketika mereka turun dari helikopter, anak-anak murid Hani segera berebut untuk bersalaman dan membawa apa saja yang bisa mereka bantu.
“Bagaimana Mbak dengan keadaan Desa Klapot Sorong Papua? Katanya listrik sudah masuk dan sumber air sudah dekat dengan rumah-rumah penduduk.” Ujar seorang kepala rombongan.
“Alhamdulillah Pak. Waktu itu saya dan beberapa perangkat daerah kecamatan mengajukan usul proposal kepada Pemerintah Provinsi Papua untuk menyediakan aliran listrik dan sumber air sehingga kami di sini lebih sejahtera. Mari Pak, kita berjalan sekitar 45 menit dari sini menuju Desa Klapot Sorong Papua.” Ujar Karin.
Setelah kami sampai di desa, mereka langsung meliput dan mewawancarai beberapa warga desa. Warga Desa Klapot Sorong Papua kini bermata pencaharian sebagai petani sayur sangat sejahtera karena mereka telah mempunyai pekerjaan yang mendatangkan uang bagi mereka untuk bisa menghidupi keluarganya. Baru-baru ini terdengar kabar bahwa Pemerintah Provinsi Papua akan membuat sebuah gedung sekolah dasar, puskesmas, dan pasar yang akan ditempatkan di desa kami. Kami menyambutnya dengan gembira dan aku pun ditunjuk sebagai pengelola sekolah sementara sebelum akhirnya akan ditempatkan guru-guru dari kota untuk mengajar di sana. Ini semua berkat kerja keras perangkat desa dan juga keinginan masyarakat yang ingin berubah.
Setelah seharian melakukan pengamatan langsung di desa kami, tim wartawan pun pamit dan tak lupa aku dan anak-anak muridku berfoto bersama untuk mengabadikan kebersamaan kami walau hanya satu hari.
___@@@___
“Mas, nanti Cindy minta uang ya buat beli keperluan Rio.” Bujuk Cindy.
“Bukannya kemarin lusa sudah Mas kasih uang untuk beli susu. Kok malah nambah lagi. Kamu jangan boros ya! Mas ini mencari uang bukan untuk dihamburkan begitu saja. Kamu shopping, arisan, makan di luar. Semua memakai uang Mas. Heran, kenapa Mami mau memilih kamu untuk jadi pendamping hidupku. Walau kamu cantik dan penuh dengan kesempurnaan wanita tapi kamu tidak akan bisa merebut hatiku.”
“Tapi yang terpenting aku bisa menghasilkan keturunan bagimu, Mas. Dan Mas harus bayar semua itu dengan harga yang mahal. Ya, anggap saja Mas membeli anak yang aku keluarkan dari rahimku untuk Mami. Sudahlah Mas, aku ini kesayangan Mami dan Mami sudah pernah bilang bahwa aku bebas memiliki apa saja yang aku inginkan dan termasuk uangmu.” Ujar Cindy.
Henry hanya menggelang-gelengkan kepala melihat sikap Cindy yang mau menang sendiri. Ia kemudian mengeluarkan cek kosong yang ia berikan kepada Cindy. “Isilah berapapun yang kamu mau. Kamu mau ambil seluruh harta milikku pun tak apa kecuali Rio. Kau tadi bilang bahwa anggap saja aku membeli anakmu. Baik, ia kubeli dengan seluruh harta kekayaanku dan tak usah lagi kau mengasuhnya.” Kata Henry dengan wajah garang yang membuat Cindy kaget karena tidak pernah Henry sedemikian marahnya.
___@@@___
“Ini artikel untuk minggu ini tentang perjuangan seorang wanita untuk memajukan daerah pelosok. Dan ini juga fotonya bersama dengan anak-anak murid asuhannya.” Kata seorang wartawan yang meliput Desa Klapot Sorong Papua kepada pimpinan redaksinya.
“Hmm… Sungguh luar biasa wanita ini. Berani melepaskan segala hiruk pikuk gemerlapan kota Jakarta untuk memajukan daerah pelosok di Papua. Muat di halaman pertama.”
“Baik, Pak.”
___@@@___
“Karin? Inikan foto Karin ? Tapi… Apa Papua? Jauh sekali ia pergi.” Ujar Hanry terkejut dan masih tidak percaya membaca koran yang ia dapatkan pagi ini.
Lalu ia menelpon pimpinan redaksi koran tersebut dan meminta nomor handphone wartawan yang meliput berita itu ke Papua. Ia segera bergegas memesan tiket pesawat untuk ke Papua menyusul Karin. Dan hari itu juga ia berangkat.
Sesampainya di Bandara, ia segera mencari alamat Desa Klapot Sorong Papua yang telah diberikan kepadanya. Dan tanpa waktu yang lama, ia berhasil mendapatkan desa tersebut. Ia tertegun melihat Karin yang sedang mengajarkan iqro’ kepada beberapa orang muridnya di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Ia dekati perlahan dan kemudian menangis. Mendengar ada orang yang menangis, Karin pun menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya ketika ia melihat Hanry telah berada di dekatnya.
“Mas Henry. Kenapa Mas ke sini? Dan tahu dari mana kalau Karin ada di sini?”Tanya Karin heran.
“Karin. Aku sangat rindu kepadamu. Aku masih sangat mencintaimu dan sangat tersiksa atas keputusanmu bercerai denganku. Tidakkah kau lebih bersabar dan memberikan waktu untuk kita mengobati penyakitmu? Kembalilah ke sisiku, Rin. Kita akan mulai hidup baru dan kita akan pergi jauh dari keluargaku biar tidak ada orang yang akan mencemoohkanmu.”
Karin pun menangis. Ia tidak bisa berkata apa-apa karena ia pun sangat rindu kepada Henry. Sudah hampir 2 tahun berlalu tapi ia masih menyimpan harapan untuk kembali bertemu dengan Henry. Sementara itu anak-anak muridnya bingung melihat keadaan Karin yang menangis. Mereka kemudian dipanggil oleh orang tua mereka karena orang tua mereka mengerti dengan apa yang sedang terjadi pada Karin sekarang ini dan ingin membiarkan Karin dan Henry berbicara empat mata.
“Mari kita pulang Karin. Aku janji akan menjagamu dan menyayangimu walau kita tidak mempunyai seorang anak.” Bujuk Henry.
“Tidak, Mas. Aku tetap di sini dan ingin membangun desa ini. Orang-orang di sini sudah kuanggap keluarga yang dapat menerima kelebihan dan kekuranganku sebagai seorang wanita.” Tolak Karin lembut.
“Kalau begitu, Mas juga ikut tinggal di sini.”
Karin terkejut dan mengarahkan pandangannya ke Henry. “Mas, apa yang akan Mas lakukan dengan Cindy? Meninggalkannya begitu saja? Tidak Mas. Janganlah pergi mencariku dan kemudian meninggalkannya. Aku akan merasa berbahagia di atas penderitaan orang lain. Sebaiknya Mas pulang saja ke Jakarta. Anak Mas sangat membutuhkan kehadiran sosok ayah yang baik seperti Mas.”
“Tapi, Rin….”
“Gak perlu ada tapi. Mas pulang saja ke Jakarta dan biarkan aku di sini mengabdikan diri untuk masyarakat.”
Henry yang sudah kehilangan akal untuk membujuk Karin. “Tapi izinkan Mas untuk tinggal di sini untuk beberapa hari.” Karin pun mengangguk. Henry disambut baik oleh kapala adat dan mempersilakannya untuk tinggal selama 3 hari di rumahnya.
Tibalah keberangkatan Henry ke Jakarta. Karin hanya bisa mengantar sampai ke lapangan tempat helikopter lepas landas karena Henry akan pulang dengan menggunakan helikopter. Setelah Helikopter menghilang dari pandangan Karin, ia menangis sejadi-jadinya karena ia ingin melampiaskan rasa perih di hatinya karena ia kembali menghadapi kenyataan berpisah dengan Henry. Namun, ia tetap akan berjuang dan selalu berjuang untuk menjadi wanita sempurna dan akan mengabdikan ilmu dan hidupnya untuk masyarakat. Dia yakin, jika ia memang berjodoh dengan Henry, maka Allah pun akan mengizinkannya untuk bersatu kembali. Kini dia kan terus melangkah melanjutkan cita-cita Sang Kartini.
Tamat
»»  READMORE...

Mendung di Hati Erika

Aku masih terpaku melihat mukena di etalase sebuah mal di Palembang. Mukena yang indah, gumamku. Pasti ibu sangat senang kalau kuhadiahkan mukena ini. Namun, kukuburkan dalam-dalam keinginan itu karena di sudut bawah mukena itu terselip angka Rp 320.000.
“Erika, ayo cepat pulang!!” Teriak Dina, sahabatku.
Dengan segera kuberlari sambil membawa dua buah kantong hitam besar di kedua tanganku yang berisi kue-kue buatan ibuku yang akan dititipkan di salah satu food corner di mal itu.
“Kamu ini masih suka ngayal,” ujar Dina mencibirku.
“Yee… ini bukan hayalan tapi impian. Impian seorang Erika Maya Sari yang ingin membahagiakan ibunya, haa…” Jawabku menghibur diri.
“Kayaknya tanam aja deh impian kamu itu di tanah belakang rumah alias dikubur!! Isi dulu tuh perut baru ngejer impian. Ngejer impian tapi 3 hari kemudian mati kelaparan, apa mau? Kita ini emang ditakdirkan gak akan pernah bisa mencicipi ‘jamuan’ enak dunia,” kata Dina.
Aku hanya menghela nafas.
“Udah ah, jangan pesimis melulu. Sekarang cari rejeki untuk hari ini. Tuh, Mbak Aci udah nunggu,” ujarku sambil menuju ke food corner tersebut.
Di sana, Mbak Aci, Sang Manajer telah menunggu kedatangn kami. Sambil tersenyum, ia berkata “Akhirnya datang juga kalian. Hari ini kok lama sekali?”
“Ini nih Mbak, Si Erika ngayal lagi di depan etalase mukena di lantai dua,” sindir Dina sambil melirikku.
Aku hanya bisa tersenyum saja mendengar ucapan Dina. Semakin banyak aku mendengar nada pesimisnya, semakin kuat tekadku untuk membuktikan padanya bahwa aku bisa mewujudkan impian itu.
“Ini Mbak, kami bawa lumayan banyak. Tiga hari ke depan kan long weekend. Selasa Insya Allah kami ke sini lagi” Ujarku.
“Oke deh. Hmm… kayaknya enak-enak nih kuenya kali ini. Pasti laku keras.” Puji Mbak Aci.
“Amin, Mbak. Lumayan buat ditabung kalo memang banyak untungnya.”
“Ditabung buat apa, Erika?” Tanya Mbak Aci.
“Buat masuk universitas bareng Dina. Ya kan, Din?”
“Eh, i… ya Mbak. Buat masuk universitas tahun depan.” Ujar Dina terkejut.
“Wah… Wah… Udah pada mau kuliah nih. Mbak doain semoga kalian sukses masuk universitasnya,” Ujar Mbak Aci yang diamini olehku dan Dina. Kami pun segera pamit.
----<<<@@
“Ibu… Ibu… Kemana ya ibu?” Ujarku sesampainya di rumah.
Kucari ibu di setiap sudut rumah kami yang sederhana, namun tetap tidak ada. Kemana ya ibu, gumamku. Di meja makan sudah tersedia menu untuk makan malam dan masih panas. Berarti ibu baru saja selesai masak. Aku pun menunggu ibu sambil duduk di teras rumah kami yang menghadap ke lapangan sepak bola. Di sana masih banyak anak-anak kecil yang bermain sepak bola walau hari sudah mulai gelap.
Sudah 15 menit aku menunggu tapi ibu belum juga datang. Tidak biasanya ibu seperti ini. Perasaanku pun tidak tenang. Aku mengalihkan rasa was-wasku dengan membaca buku pelajaranku. Tapi tetap saja tidak fokus. Sekarang sudah pukul 17.50 WIB.
Aku bergegas ke rumah Dina yang terletak di depan jalan. Dina tinggal bersama neneknya karena ia seorang yatim piatu sejak 5 tahun yang lalu. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan kereta api ketika hendak kembali ke Jogjakarta. Namun, untunglah Dina masih bisa diselamatkan walau sempat 3 hari koma di rumah sakit. Sesampainya di depan pintu rumah Dina, terdengar suara tangisan Dina. Aku pun mengurungkan niatku untuk meminta bantuannya karena aku telah paham bahwa Dina menangis pasti sedang teringat kedua orang tuanya. Tidak ada kepedihan di dalam hatinya kecuali kematian kedua orang tuanya.
Aku pun pulang ke rumah sambil berharap ibu sudah menunggu di sana. Tapi ibu masih belum pulang juga. Aku semakin cemas.
---<<<@@@
Seusai sholat Maghrib, kulangkahkan kakiku ke rumah Dina. Aku ingin meminta bantuannya untuk mencari Ibuku. Tapi di tengah jalan menuju rumah Dina, tiba-tiba Bu Nani menghampiriku dengan tergopoh-gopoh.
“Erika… Erika… “ Teriak Bu Nani.
“Ada apa, Bu?” Tanyaku cemas.
“Ibumu… Barusan tadi ada yang kasih tahu kalau ibumu ada di rumah sakit sekarang. Tadi ia ditemukan pingsan. Kamu mau ke sana sekarang bareng sama Ibu saja.”
Aku tak sempat lagi berkata-kata, air mataku langsung menetes. Kami segera menuju ke rumah sakit. Aku sangat mencemaskan ibu.
Sesampainya di rumah sakit, ibu sudah siuman. Aku langsung mendekap tangan ibu, seakan tak ingin kehilangan tulang punggung keluarga itu.
“Ibu… Ibu tadi pergi kemana? Rika cemas.” Ujarku dengan berurai air mata.
Ibu hanya tersenyum dan membelai kerudung hijauku lalu berkata, “Erika sayang, tidak usah mencemaskan ibu. Kelak harus bisa jaga diri, mungkin ibu tidak bisa lama menemani Erika.”
“Kenapa ibu bilang seperti itu? Ibu jangan tinggalin Erika sendirian. Ibu mau kemana?”
“Erika sayang, jangan menangis. Ibu jadi sedih nanti. Kamu harus bisa mendapatkan beasiswa ke universitas negeri. Ibu tidak ada biaya untuk kuliahmu. Maafkan ibu, Nak. Ibulah yang patut disalahkan karena ibu tidak bisa memberikan yang terbaik selama Erika bersama ibu.”
Air mata ibu pun jatuh dari kedua sudut matanya. Aku sungguh tidak tahan melihatnya. Aku masih tidak mengerti kenapa ibu berkata demikian seolah-olah akan meninggalkanku sendirian di sini. Tiba-tiba seorang dokter menghampiriku dan mengajakku ke ruanganya. Sepertinya ada masalah serius yang hendak disampaikan.
“Begini, Dek….”
“Erika..”
“Oh ya, begini Dek Erika. Bu Aminah sebenarnya sudah lama mengidap kelainan jantung. Dan sekarang sudah bertambah parah. Kemungkinan untuk bertahan hidup sudah tidak lama lagi namun kita serahkan kepada Allah saja keputusan akhirnya. Saya harap Dek Erika tabah.” Ujar dokter.
Tubuhku serasa hendak jatuh ke lantai. Sulit kumenerima apa yang kini terjadi pada diriku. Ibu mengidap penyakit jantung dan aku tidak tahu akan hal itu. Anak macam apa aku ini yang tidak mengetahui penyakit yang diderita oleh ibunya sendiri. Tak tahan lagi aku menahan air mata dan kini kuhanya bisa pasrah. Bu Nani memeluk seerat-eratnya. Beliau ternyata sudah mengetahui penyakit yang diderita ibu tapi ibu melarang untuk menceritakan kepada siapapun, khususnya aku. Ibu tidak ingin menambah beban pikiranku. Di saat seperti ini aku merindukan ayah. Ingin aku menangis di dekapannya.
“Sabarlah, Rika. Ibumu sudah berjuang sekuat tenaga menahan sakit yang dideritanya demi melihatmu tersenyum setiap hari. Temuilah ibumu sekarang tapi usaplah dulu air matamu, jangan sampai ibumu melihat kau menangis.” Hibur Bu Nani.
Aku mengangguk dan segera mengusap air mataku. Kemudian kami berjalan menuju ke ruangan tempat ibu dirawat.
“Erika, ibu mau pulang ke rumah sekarang, Nak.” Pinta ibu.
“Silakan saja, Bu…” Ujar dokter yang seketika itu telah berdiri di belakang Erika. “Bu Aminah harus jaga kondisi tubuhnya nanti pingsan lagi. Kan kasihan Dek Erika.”
“Baik, Dok.” Jawab ibu sambil tersenyum.
Aku pun memapah ibu menuju keluar. Kami pun pulang dan dengan segera kubaringkan ibu di atas tempat tidur. Bu Nani pun pamit. Aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Bu Nani yang telah menolong keluarga kami.
“Nak, ibu mau sholat Isya’ dulu baru istirahat.” Pinta ibu.
“Kita sholat berjamaah atau tidak, Bu?” Tanyaku.
“Iya, Erika. Kita sholat berjamaah seperti biasa. Ibu masih kuat. Tapi kali ini kamu yang jadi imamnya.”
Aku pun memapah ibu untuk mengambil air wudhu. Kami pun sholat Isya’ berjamaah dan kali ini aku yang menjadi imam ibuku. Seusai mengucapkan salam, aku pun memimpin doa. Dan ketika aku menoleh ke belakang, kulihat ibu masih bersujud. Perasaanku agak sedikit was-was. Aku masih menunggu ibu untuk segera bangun dari sujudnya. Tapi ibu masih belum beranjak. Kusentuh bahu ibu dan seketika itu badan ibu tersungkur ke lantai.
“Ibuuuu… Ibuuu… Jangan tinggalin Erika. Ibuuu…”
Aku merasakan dunia ini gelap dan sunyi seakan-akan alam pun ikut bersedih atas kepergian ibu. Aku menangis sejadi-jadinya. Kemudian aku berlari ke rumah Dina dan memintanya ke datang rumahku. Dina tak kuasa menahan tangis melihatku sangat kehilangan ibuku. Ia menangisi keadaan kami berdua yang kini sama-sama yatim piatu. Tetangga pun berdatangan karena tangisanku yang terdengar sampai ke rumah mereka.
“Ibu… Kenapa ibu meninggalkan Erika sendirian. Ibu… Erika mau ikut ibu pergi. Ibu…” Ratapku melihat mayat ibuku yang sudah diberi kain penutup.
Para tetangga membaca surah Yasin dan aku pun ikut serta walau dengan suara yang parau. Sungguh masih sulit untukku menerima cobaan dari Allah ini. Esok pukul 9 pagi ibu akan dimakamkan di pemakaman umum di dekat rumahku.
---<<<@@@
Lima hari sudah ibu meninggalkanku. Aku masih diliputi rasa kesedihan yang mendalam. Kini aku hidup sendirian, tanpa kedua orang tuaku. Aku mulai membenahi barang-barang kepunyaan ibu dan memindahkannya ke dalam kardus besar. Seluruh pakaiannya besok akan aku sumbangkan ke sebuah yayasan social untuk disalurkan kepada yang memerlukan. Ketika membereskan buku-buku ibu, tiba-tiba terlihat olehku setumpuk surat. Aneh rasanya kenapa ada banyak surat padahal ibu tidak pernah mengirim surat kepada temannya. Kubuka satu pesatu surat-surat itu dan ternyata sura-surat itu adalah curhatan hati ibu tentang ayah seolah-olah ibu sedang bercerita kepada ayah tentang keadaan kami melalui surat tersebut.
Kubaca dengan teliti hingga tidak ada satu kata pun yang terlewati. Salah satu surat tersebut memberikan gambaran keadaan ayah sekarang. Ayah masih hidup. Sekarang ayah sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Kuambil surat tersebut dan aku pun langsung bergegas menuju alamat rumah sakit jiwa tempat ayahku dirawat. Kutanyakan nama Yahya Zein Umar apakah masuk dalam daftar nama pasien di rumah sakit tersebut. Dan ternyata benar. Aku langsung deg-degan, apa benar ayahku masih hidup dan tinggal di rumah sakit ini sejak 3 tahun yang lalu. Tapi kenapa ibu tidak menceritakannya kepadaku.
“Mari sini Dek, saya antar ke ruangan Pak Yahya.” Kata suster itu sambil tersenyum ramah. Kuperhatikan satu persatu wajah-wajah pasien di setiap kamar-kamar yang kami lewati dan mereka semuanya bertingkah laku seperti anak kecil dan sangat aneh. Apa ayah juga seperti mereka, pikirku.
“Ini Dek yang namanya Pak Yahya Zein Umar.” Kata suster itu ketika membuka salah satu pintu kamar di pojok kiri jalan.
Air mataku hendak tumpah karena terharu dan segera aku berlari dan memeluk ayah. “Ayaaah… Ayah masih hidup. Ya Allah aku masih punya ayah, aku bukan yatim piatu.”
“Adek pasti Erika Maya Sari, ya?” Tanya suster tersebut.
“Benar. Sus. Suster tahu dari mana? Ujarku sambil menghapus air mata di pipiku.
“Bu Aminah selalu datang ke sini setiap selasa dan sabtu sore membawakan makanan kesukaan Pak Yahya. Bu Aminah selalu menceritakan segala sesuatu tentang Dek Erika. Dan saya yang kebetulan piket selalu mendengar apa yang diceritakan Bu Aminah karena Bu Aminah selalu mengajak Pak Yahya ke taman.”
“Sekarang ibu sudah meninggal, Sus. Hari Jumat yang lalu.”
“Apa? Adek tidak bohong, kan? Jumat kemarin Bu Aminah datang menjenguk Pak Yahya. Namun entah mengapa Bu Aminah menangis seakan-akan tidak akan bertemu lagi dengan Pak Yahya. Innalillahi...”
“Tapi kenapa ibu tidak pernah menceritakan kepada Erika kalau ayah masih hidup? Tiga tahun yang lalu ibu bilang kalau ayah meninggal karena kecelakaan. Namun, Erika tidak diperkenankan menjenguk jasad ayah untuk yang terakhir kalinya setelah satu tahun berpisah.”
“Itu karena ibumu tidak ingin kau tahu keadaan rumah tangga mereka yang sebenarnya. Sewaktu Adek kelas 6 SD dan masih tinggal dengan nenek di Jawa, orang tua Dek Erika ternyata sudah berpisah. Karena itulah Erika dibawa ibu pulang ke Palembang. Jika Erika bertanya di mana ayah, Bu Aminah pasti menjawab kalau Pak Yahya sedang bertugas di Kedubes Indonesia untuk Malaysia. Padahal Pak Yahya sudah menikah lagi dengan seorang wanita penggoda. Pak Yahya terjebak dan jatuh miskin yang kemudian dicampakkan oleh ibu tiri Dek Erika setelah 2 tahun menikah.”
Suster itu menghela nafas sejenak, kemudian melanjutkan ceritanya.
“Pak Yahya stress dan menjadi gila. Seseorang menemukan Pak Yahya sedang duduk di bawah jembatan dan seperti mau bunuh diri kemudian dibawa ke sini. Kami sebenarnya agak kesulitan mencari keluarga Pak Yahya. Tapi Alhamdulillah berhasil dan Bu Aminah selalu datang menjenguk Pak Yahya. Masalah kenapa Bu Aminah merahasiakan keberadaan Pak Yahya kepada Dek Erika itu karena Bu Aminah tidak ingin Dek Erika malu kepada teman-teman Dek Erika.”
Tertunduk sedih aku mendengar cerita suster tersebut. Begitu rumit kehidupan keluargaku. Kini aku harus segera membawa ayahku keluar dari rumah sakit jiwa ini. Aku akan merawat ayah sebagaimana ibu merawat ayah selama tiga tahun.
»»  READMORE...

HEMBUSAN BAYU DI UJUNG SENJA



            Hari  masih sore, sejenak aku masih terngiang ucapan Bayu. Ibunya sudah meninggal 2 bulan yang lalu. Sudah hampir 8 bulan aku tidak bertemu dengannya. Dan kemarin kami bertemu kembali ketika ia sedang mengangkut barang yang akan dikeluarkan dari truk ke toko A Kiang. Malam ini aku berencana mampir ke rumah kontrakkannya.
            Sungguh sangat miris melihat keadaan Bayu saat ini. Ia kini harus mencari nafkah bukan hanya untuk dirinya, namun kedua adiknya pun harus ia tanggung sendirian. Bapaknya sudah meninggal ketika adiknya yang bungsu, Ratih masih 5 bulan di dalam kandungan ibunya. Dan kini ibunya sudah tiada pula di samping mereka.
            Pemuda itu mengais rezeki menjadi kuli angkut barang. Ia sudah tidak sekolah lagi sejak ibunya meninggal. Bangku SMA pun ia lepas, namun ia tetap menyekolahkan adik-adiknya yang masih duduk di kelas 1 SMP dan 4 SD.
            Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku pun seorang piatu. Sedangkan ayahku pergi meninggalkanku dan menikah dengan wanita lain. Kini aku tinggal bersama nenekku yang bekerja sebagai penyapu jalan raya.
            Pertemuan kami dimulai ketika kami masuk ke sebuah lembaga kursus gratis yang diadakan oleh sebuah LSM selama 4 bulan. Kami sama-sama mengambil jurusan otomotif. Namun, sejak 8 bulan yang lalu aku tidak lagi berkomunikasi dengannya. Ketika kemarin kutanyakan kabar ibunya, ia malah diam. Kemudian bercerita tentang penyakit yang diderita ibunya selama menjadi buruh pabrik. TBC telah merenggut nyawa ibunya.
            Aku kini masih termenung meresapi belaian udara yang menyelimuti langit senja. Inginnya aku membantu sahabatku, namun aku pun sebenarnya juga masih perlu bantuan karena sekolahku pun terancam gagal diakibatkan tunggakan uang komputer dan biaya pembangunan sekolah yang belum kubayar sudah mendekati 3 bulan lamanya.
            Aku hanya bisa mengelus dadaku melihat kenyataan pahit yang kami alami.
____@@____
            Ba’da Isya aku pun segera bergegas pergi ke rumah Bayu. Kudekati perlahan-lahan pintu rumahnya. Kudengar isak tangis Putri dan Ratih. Tertegun aku di depan pintu rumahnya ketika kudengar Bayu melantunkan ayat suci Al Quran dengan suara setengah basah seperti sedang mengadukan nasib kepada Sang Khalik. Kini aku tahu bahwa mereka tadi melakukan Isya berjamaah. Kemudian kuketok pintu rumahnya dan Bayu pun keluar masih dengan mata yang basah.
            “Ari, kenapa tidak kasih tahu dulu kalau mau datang?” Tanya Bayu
            “Emang mau kasih tahu pakai apa?” candaku. “Kita ‘kan tidak ada hape kayak orang-orang gedongan”
            “Kan bisa kasih tahu ketika aku sedang bekerja di toko A Kiang”
            “Sudahlah itu tidak penting lagi, kan sekarang aku sudah di rumah kamu. Tidak mempersilakan aku masuk nih?”
Bayu pun hanya tersenyum lebar karena ia sudah tahu dengan sifatku yang suka spontanitas.
            “Putri, Ratih ini ada kak Ari. Ayo salaman dulu. Jangan lupa bawa air putih ya”
Kemudian Putri dan Ratih pun keluar dengan membawa dua buah gelas air putih.
            “Nah, ini kak Ari. Kalian tentunya masih ingat, kan? Nanti kalian harus pintar agar diterima di sekolah favorit seperti kak Ari.”
            “Iya, Kak. Oh iya Kak Ari, Kak Bayu suka sekali cerita kalau Kak Ari itu orangnya baik dan pintar. Waktu Kak Ari sekelas dengan Kak Bayu katanya Kak Ari yang selalu mengajari Kak Bayu kalo Kak Bayu tidak mengerti dengan pelajaran.” Ujar Ratih si Bungsu.
            “Kamu ini Bayu terlalu berlebihan bercerita,” ucapku dengan nada serius.
            “Ah, bukan apa-apa, Ri. Itu ‘kan biar mereka termotivasi dalam bersekolah. Ya sudah, Putri ajak adiknya tidur sana. PR nya kan sudah dikerjakan nanti besok bangun kesiangan kalau tidak tidur sekarang. Ayo!”
            Putri dan Ratih pun ke kamar. Kami berdua melanjutkan obrolan kami. Kuceritakan masalah yang kuhadapi sekarang yaitu biaya sekolah yang belum dibayar. Bayu pun menyampaikan kegelisahannya tentang upah minim yang ia terima sudah tidak bisa mengganjal keperluan sehari-hari mereka. Bahan makanan sudah merangkak naik tak tergapai lagi olehnya. Belum lagi biaya kontrakkan dan uang sekolah adik-adiknya. Walau Putri terkadang mendapat upah dari hasil mencucinya di rumah A Kiang masih saja tidak bisa menutupi kebutuhan mereka.
            Kembali aku mengelus dadaku. Aku malu dengan Bayu. Ia sudah bisa mencari nafkah tanpa mengandalkan bantuan orang lain. Sedangkan aku masih berpangku tangan pada nenekku. Cucu macam apa aku ini.
____@@___
            Tiga hari berikutnya aku mendengar kabar akan diadakan lomba desain motor yang diadakan oleh sebuah perguruan tinggi negeri di kotaku yang disponsori oleh sebuah merek motor terkenal. Kriteria yang diajukan sudah kupenuhi, tinggal mendesain motor saja. Segera kukabari Bayu dan ia sangat mendukungku karena hadiah yang disediakan lumayan besar dan bisa untuk menutupi kekurangan biaya sekolahku yang masih menunggak.
___@@___
            Kabar dari pemenang lomba desain motor belum juga diumumkan. Namun, batas akhir pelunasan biaya sekolahku sudah menunggu hitungan hari. Siang itu aku kembali mengunjungi dealer merek motor yang mensponsori lomba desain motor. Dan ternyata tidak ada namaku pada daftar pemenang lomba. Kecewa? Sudah pasti.
            Untuk ketiga kalinya aku mengelus dadaku. Kemudian tiba-tiba aku mendengar percakapan dua orang karyawan dealer itu. Mereka membincangkan masalah penerimaan pekerja sebagai montir pada dealer mereka. Kemudian kutanyakan kepada salah satu pegawai tersebut. Dan Alhamdulillah tiga hari kemudian aku bekerja paruh waktu di sana. Dan Alhamdulillah juga karena ada seorang pegawai yang baik hati mau meminjamkan uang yang akan kupergunakan untuk melunasi biaya sekolahku. Dan akan kukembalikan ketika aku menerima gaji pertamaku.
___@@___
            “Aku turut senang, Ri”, ujar Bayu dengan muka berseri karena turut merasakan kebahagiaanku.
            “Kalau begitu aku akan semakin giat belajar untuk merebut juara I umum lagi di sekolah dan aku akan bekerja agar nenekku tidak kesusahan lagi mencari uang untuk biaya sekolahku.” Ujarku. “Bayu, kamu mau tidak bekerja di sana? Nanti aku cari tau masih ada lowongan lagi atau tidak. Bagaimana?”
            “Gak mau ah, Ri. Kamu tahu kan sewaktu kita kursus dulu aku masih buta dengan mesin. Kalau aku jadi montir, eh nanti mesinnya tambah rusak.” Ucap Bayu sambil tertawa.
            Aku pun ikut tertawa karena teringat ketika Bayu dimarahi oleh pelatih tapi Bayu malahan tertidur sehingga ia disuruh membersihkan WC dan mengisi bak kamar mandi sampai penuh dengan menimba air di sumur.
___@@___
            Lima bulan sudah aku menjalani pekerjaan paruh waktuku. Hutangku pun sudah lunas. Malah sekarang aku bisa menyisihkan uangku untuk kutabung. Aku pun semakin sering berkunjung ke rumah Bayu untuk memberikan pelajaran tambahan kepada adik-adiknya karena aku tahu mereka anak yang cerdas dan berbakat. Putri pandai menggambar dan cita-citanya kelak ingin menjadi sarjana desain grafis. Dan Ratih sangat pandai mengaji dan kelak ia ingin menjadi ustadzah.
            Seusai mengajar, aku dan Bayu duduk di teras. Nampaknya ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh Bayu.
            “Ri, kalau nanti aku tidak ada, maukah kau menjaga adik-adikku?”
            “Kamu ini ngomong apa sih, Bay? Kamu mau pergi jauh, ya?”
            “Entahlah, kenapa akhir-akhir ini aku merasa akan berpisah dengan adik-adikku. Aku jadi takut kalau-kalau aku nanti akan …”
            “Sudah, sudah. Jangan kau teruskan. Itu hanya perasaan kau saja. Sudah malam, aku mau pulang. Ingat ya Bayu, ada atau tidaknya dirimu aku akan tetap menjaga adik-adikmu karena mereka sudah kuanggap separuh jiwaku. Assalamu’alaikum.”
            “Wa’alaikumsalam. Hati-hati, Ri.”
            Aku meninggalkan rumah Bayu dan sebelum aku menjauh dari rumahnya, aku menoleh kea rah rumahnya. Kulihat Bayu masih duduk di teras rumahnya sambil melamun. Tak terasa air mataku menetes. Apakah benar mimpi-mimpiku beberapa malam terakhir ini akan terjadi? Akhir-akhir ini aku sering bermimpi melihat Bayu mengenakan pakaian serba putih ditemani seorang pemuda tampan tetapi aku tidak tahu siapa. Wajah orang itu mirip sekali dengan Bayu dan Putri. Inikah pertanda perpisahan seperti yang dikatakan Bayu tadi. Ya Allah, jangan berikan kami kesusahan hati.
___@@___
            Kejadian yang tidak kuinginkan pun terjadi. Bayu masuk UGD. Ia menjadi korban tabrak lari sewaktu hendak memindahkan barang dari toko seberang jalan. 30 menit setelah di UGD, Bayu pun menghembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya. Air mataku tak terbendung lagi. Sahabatku sudah hilang. Tinggallah aku sendiri menangisi kepergian sahabatku. Aku yang hidup dan tinggal bersama nenekku akan terasa amat sepi tanpa kehadiran Bayu.
            Tiba-tiba terdengar suara Putri dan Ratih memanggil Bayu sambil menangis. Kuangkat kepalaku yang tertunduk lemas. Seketika itu mereka langsung memelukku erat seakan tidak mau melepaskankanku. Isak tangis mereka makin kuat tatkala melihat Bayu terbaring kaku di hadapan mereka. Aku pun ikut menangis merasakan penderitaan kedua anak perempuan yang telah ditinggal pergi ayah, ibu, dan kini kakaknya pun ikut menyusul kedua orang tua mereka. Sepertinya penderitaan tidak mau berhenti mengikuti kehidupan mereka.
            Siang itu juga Bayu dimakamkan. Banyak tetangga yang merasa terharu akan kepergian Bayu karena tidak akan ada lagi orang yang merawat Putri dan Ratih. Kemudian aku teringat pesan terakhir Bayu 2 hari yang lalu. Aku pun bertekad melaksanakan amanat sahabat terbaikku itu.
            Esok harinya, Putri dan Ratih pun kubawa ke rumah nenekku. Kontrakkan itu mereka tinggalkan dan mereka akan kurawat seperti halnya Bayu merawat mereka. Dalam hati kecilku akan kutekadkan mereka harus bisa menggapai apa yang dicita-citakan oleh mereka.






NAMA              :   MIFTHA INDASARI
NIM                  :    06071013069
FAK/PRODI    :   FKIP/PGSD ‘07


»»  READMORE...

Di Temaramnya Senja

Sebenarnya,
masih ingin kujumputi sisa-sisa rekahan senja
Tapi malam keburu menggulung rona jinggaku
Jadi, ku tatap perlahan saja lukisan langit itu,
Sebelum akhir warnanya pudar oleh keheningan malam.
Dan semburat bayangan hampa pun kan tenggelam,
hilang..
Kuhanya menatap kelam senja sendiri..
tnpamu,,..
Biarlah tenggelam,
pun esok semburat itu kan mengawang lagi dilangitku
Di padang senja,
tak lagi hampa..
Lembayung-lembayung itu menemaniku…..
Di sini,.
Menunggumu takkan lelah untukku
Karena ku tau nanti,
kau kan memandang langit senja itu bersamaku,.
Berdua,…


Namun jika senja itu berlalu
dan kudapati kau tetap tdk bersamaku,
tak mengapa,…
Kenanglah aku,
tatkala senja menutup hari lelahmu
Ingatlah bahwa aku dan bayangku kan ada,..
Menemanimu,..
Di temaramnya senja kita,..
»»  READMORE...