Hari masih sore, sejenak aku masih terngiang ucapan Bayu. Ibunya sudah meninggal 2 bulan yang lalu. Sudah hampir 8 bulan aku tidak bertemu dengannya. Dan kemarin kami bertemu kembali ketika ia sedang mengangkut barang yang akan dikeluarkan dari truk ke toko A Kiang. Malam ini aku berencana mampir ke rumah kontrakkannya.
Sungguh sangat miris melihat keadaan Bayu saat ini. Ia kini harus mencari nafkah bukan hanya untuk dirinya, namun kedua adiknya pun harus ia tanggung sendirian. Bapaknya sudah meninggal ketika adiknya yang bungsu, Ratih masih 5 bulan di dalam kandungan ibunya. Dan kini ibunya sudah tiada pula di samping mereka.
Pemuda itu mengais rezeki menjadi kuli angkut barang. Ia sudah tidak sekolah lagi sejak ibunya meninggal. Bangku SMA pun ia lepas, namun ia tetap menyekolahkan adik-adiknya yang masih duduk di kelas 1 SMP dan 4 SD.
Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku pun seorang piatu. Sedangkan ayahku pergi meninggalkanku dan menikah dengan wanita lain. Kini aku tinggal bersama nenekku yang bekerja sebagai penyapu jalan raya.
Pertemuan kami dimulai ketika kami masuk ke sebuah lembaga kursus gratis yang diadakan oleh sebuah LSM selama 4 bulan. Kami sama-sama mengambil jurusan otomotif. Namun, sejak 8 bulan yang lalu aku tidak lagi berkomunikasi dengannya. Ketika kemarin kutanyakan kabar ibunya, ia malah diam. Kemudian bercerita tentang penyakit yang diderita ibunya selama menjadi buruh pabrik. TBC telah merenggut nyawa ibunya.
Aku kini masih termenung meresapi belaian udara yang menyelimuti langit senja. Inginnya aku membantu sahabatku, namun aku pun sebenarnya juga masih perlu bantuan karena sekolahku pun terancam gagal diakibatkan tunggakan uang komputer dan biaya pembangunan sekolah yang belum kubayar sudah mendekati 3 bulan lamanya.
Aku hanya bisa mengelus dadaku melihat kenyataan pahit yang kami alami.
____@@____
Ba’da Isya aku pun segera bergegas pergi ke rumah Bayu. Kudekati perlahan-lahan pintu rumahnya. Kudengar isak tangis Putri dan Ratih. Tertegun aku di depan pintu rumahnya ketika kudengar Bayu melantunkan ayat suci Al Quran dengan suara setengah basah seperti sedang mengadukan nasib kepada Sang Khalik. Kini aku tahu bahwa mereka tadi melakukan Isya berjamaah. Kemudian kuketok pintu rumahnya dan Bayu pun keluar masih dengan mata yang basah.
“Ari, kenapa tidak kasih tahu dulu kalau mau datang?” Tanya Bayu
“Emang mau kasih tahu pakai apa?” candaku. “Kita ‘kan tidak ada hape kayak orang-orang gedongan”
“Kan bisa kasih tahu ketika aku sedang bekerja di toko A Kiang”
“Sudahlah itu tidak penting lagi, kan sekarang aku sudah di rumah kamu. Tidak mempersilakan aku masuk nih?”
Bayu pun hanya tersenyum lebar karena ia sudah tahu dengan sifatku yang suka spontanitas.
“Putri, Ratih ini ada kak Ari. Ayo salaman dulu. Jangan lupa bawa air putih ya”
Kemudian Putri dan Ratih pun keluar dengan membawa dua buah gelas air putih.
“Nah, ini kak Ari. Kalian tentunya masih ingat, kan? Nanti kalian harus pintar agar diterima di sekolah favorit seperti kak Ari.”
“Iya, Kak. Oh iya Kak Ari, Kak Bayu suka sekali cerita kalau Kak Ari itu orangnya baik dan pintar. Waktu Kak Ari sekelas dengan Kak Bayu katanya Kak Ari yang selalu mengajari Kak Bayu kalo Kak Bayu tidak mengerti dengan pelajaran.” Ujar Ratih si Bungsu.
“Kamu ini Bayu terlalu berlebihan bercerita,” ucapku dengan nada serius.
“Ah, bukan apa-apa, Ri. Itu ‘kan biar mereka termotivasi dalam bersekolah. Ya sudah, Putri ajak adiknya tidur sana. PR nya kan sudah dikerjakan nanti besok bangun kesiangan kalau tidak tidur sekarang. Ayo!”
Putri dan Ratih pun ke kamar. Kami berdua melanjutkan obrolan kami. Kuceritakan masalah yang kuhadapi sekarang yaitu biaya sekolah yang belum dibayar. Bayu pun menyampaikan kegelisahannya tentang upah minim yang ia terima sudah tidak bisa mengganjal keperluan sehari-hari mereka. Bahan makanan sudah merangkak naik tak tergapai lagi olehnya. Belum lagi biaya kontrakkan dan uang sekolah adik-adiknya. Walau Putri terkadang mendapat upah dari hasil mencucinya di rumah A Kiang masih saja tidak bisa menutupi kebutuhan mereka.
Kembali aku mengelus dadaku. Aku malu dengan Bayu. Ia sudah bisa mencari nafkah tanpa mengandalkan bantuan orang lain. Sedangkan aku masih berpangku tangan pada nenekku. Cucu macam apa aku ini.
____@@___
Tiga hari berikutnya aku mendengar kabar akan diadakan lomba desain motor yang diadakan oleh sebuah perguruan tinggi negeri di kotaku yang disponsori oleh sebuah merek motor terkenal. Kriteria yang diajukan sudah kupenuhi, tinggal mendesain motor saja. Segera kukabari Bayu dan ia sangat mendukungku karena hadiah yang disediakan lumayan besar dan bisa untuk menutupi kekurangan biaya sekolahku yang masih menunggak.
___@@___
Kabar dari pemenang lomba desain motor belum juga diumumkan. Namun, batas akhir pelunasan biaya sekolahku sudah menunggu hitungan hari. Siang itu aku kembali mengunjungi dealer merek motor yang mensponsori lomba desain motor. Dan ternyata tidak ada namaku pada daftar pemenang lomba. Kecewa? Sudah pasti.
Untuk ketiga kalinya aku mengelus dadaku. Kemudian tiba-tiba aku mendengar percakapan dua orang karyawan dealer itu. Mereka membincangkan masalah penerimaan pekerja sebagai montir pada dealer mereka. Kemudian kutanyakan kepada salah satu pegawai tersebut. Dan Alhamdulillah tiga hari kemudian aku bekerja paruh waktu di sana. Dan Alhamdulillah juga karena ada seorang pegawai yang baik hati mau meminjamkan uang yang akan kupergunakan untuk melunasi biaya sekolahku. Dan akan kukembalikan ketika aku menerima gaji pertamaku.
___@@___
“Aku turut senang, Ri”, ujar Bayu dengan muka berseri karena turut merasakan kebahagiaanku.
“Kalau begitu aku akan semakin giat belajar untuk merebut juara I umum lagi di sekolah dan aku akan bekerja agar nenekku tidak kesusahan lagi mencari uang untuk biaya sekolahku.” Ujarku. “Bayu, kamu mau tidak bekerja di sana? Nanti aku cari tau masih ada lowongan lagi atau tidak. Bagaimana?”
“Gak mau ah, Ri. Kamu tahu kan sewaktu kita kursus dulu aku masih buta dengan mesin. Kalau aku jadi montir, eh nanti mesinnya tambah rusak.” Ucap Bayu sambil tertawa.
Aku pun ikut tertawa karena teringat ketika Bayu dimarahi oleh pelatih tapi Bayu malahan tertidur sehingga ia disuruh membersihkan WC dan mengisi bak kamar mandi sampai penuh dengan menimba air di sumur.
___@@___
Lima bulan sudah aku menjalani pekerjaan paruh waktuku. Hutangku pun sudah lunas. Malah sekarang aku bisa menyisihkan uangku untuk kutabung. Aku pun semakin sering berkunjung ke rumah Bayu untuk memberikan pelajaran tambahan kepada adik-adiknya karena aku tahu mereka anak yang cerdas dan berbakat. Putri pandai menggambar dan cita-citanya kelak ingin menjadi sarjana desain grafis. Dan Ratih sangat pandai mengaji dan kelak ia ingin menjadi ustadzah.
Seusai mengajar, aku dan Bayu duduk di teras. Nampaknya ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh Bayu.
“Ri, kalau nanti aku tidak ada, maukah kau menjaga adik-adikku?”
“Kamu ini ngomong apa sih, Bay? Kamu mau pergi jauh, ya?”
“Entahlah, kenapa akhir-akhir ini aku merasa akan berpisah dengan adik-adikku. Aku jadi takut kalau-kalau aku nanti akan …”
“Sudah, sudah. Jangan kau teruskan. Itu hanya perasaan kau saja. Sudah malam, aku mau pulang. Ingat ya Bayu, ada atau tidaknya dirimu aku akan tetap menjaga adik-adikmu karena mereka sudah kuanggap separuh jiwaku. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati, Ri.”
Aku meninggalkan rumah Bayu dan sebelum aku menjauh dari rumahnya, aku menoleh kea rah rumahnya. Kulihat Bayu masih duduk di teras rumahnya sambil melamun. Tak terasa air mataku menetes. Apakah benar mimpi-mimpiku beberapa malam terakhir ini akan terjadi? Akhir-akhir ini aku sering bermimpi melihat Bayu mengenakan pakaian serba putih ditemani seorang pemuda tampan tetapi aku tidak tahu siapa. Wajah orang itu mirip sekali dengan Bayu dan Putri. Inikah pertanda perpisahan seperti yang dikatakan Bayu tadi. Ya Allah, jangan berikan kami kesusahan hati.
___@@___
Kejadian yang tidak kuinginkan pun terjadi. Bayu masuk UGD. Ia menjadi korban tabrak lari sewaktu hendak memindahkan barang dari toko seberang jalan. 30 menit setelah di UGD, Bayu pun menghembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya. Air mataku tak terbendung lagi. Sahabatku sudah hilang. Tinggallah aku sendiri menangisi kepergian sahabatku. Aku yang hidup dan tinggal bersama nenekku akan terasa amat sepi tanpa kehadiran Bayu.
Tiba-tiba terdengar suara Putri dan Ratih memanggil Bayu sambil menangis. Kuangkat kepalaku yang tertunduk lemas. Seketika itu mereka langsung memelukku erat seakan tidak mau melepaskankanku. Isak tangis mereka makin kuat tatkala melihat Bayu terbaring kaku di hadapan mereka. Aku pun ikut menangis merasakan penderitaan kedua anak perempuan yang telah ditinggal pergi ayah, ibu, dan kini kakaknya pun ikut menyusul kedua orang tua mereka. Sepertinya penderitaan tidak mau berhenti mengikuti kehidupan mereka.
Siang itu juga Bayu dimakamkan. Banyak tetangga yang merasa terharu akan kepergian Bayu karena tidak akan ada lagi orang yang merawat Putri dan Ratih. Kemudian aku teringat pesan terakhir Bayu 2 hari yang lalu. Aku pun bertekad melaksanakan amanat sahabat terbaikku itu.
Esok harinya, Putri dan Ratih pun kubawa ke rumah nenekku. Kontrakkan itu mereka tinggalkan dan mereka akan kurawat seperti halnya Bayu merawat mereka. Dalam hati kecilku akan kutekadkan mereka harus bisa menggapai apa yang dicita-citakan oleh mereka.
NAMA : MIFTHA INDASARI
NIM : 06071013069
FAK/PRODI : FKIP/PGSD ‘07